Pages

Rabu, 14 November 2012

Akhlak Terpuji dan Akhlak Tercela

AKHLAK TERPUJI dan AKHLAK TERCELA
  1. I.     PENDAHULUAN
Manusia dalam hidup di dunia ini mempunyai dua macam akhlak/perilaku/tingkah laku, ada akhlak terpuji dan ada juga yang tercela. Akhlak yang terpuji akan berdampak positif pada pelakunya begitu juga akhlak  tercela yang akan membawa dampak negatif.
Agama islam mengajarkan hal-hal yang baik dalam segala aspek kehidupan manusia, islam adalah ajaran yang benar untuk memperbaiki manusia dalam membentuk akhlaknya demi mencapai kehidupan yang mulia baik di dunia maupun di akhirat.
Dengan akhlak yang terpuji manusia dapat mendapatkan derajat yang tinggi, baik di mata Allah swt, sesama manusia dan semua makhluk Allah swt yang lain termasuk jin dan malaikat. Selain akhlak terpuji, manusia juga bisa memiliki perilaku tercela yang harus ditinggalkan karena akan menurunkan derajatnya di mata Allah dan makhluk-makhluk-Nya yang lain.
Di sini pemakalah akan mencoba untuk memaparkan beberapa di antara yang termasuk ke dalam akhlak-akhlak terpuji dan tercela.

  1. II.     RUMUSAN MASALAH
    1. Hadits-haits yang termasuk dalam pembahasan akhlak terpuji
    2. Hadits tentang orang baik adalah orang yang baik akhlaknya
    3. Hadits tentang kejujuran membawa kebaikan
    4. Hadits tentang perbuatan baik dengan tetangga
    5. Hadits tentang etika duduk di jalan
      1. Hadits-haits yang termasuk dalam pembahasan akhlak tercela
      2. Hadits tentang buruk sangka
      3. Hadits tentang ghibah dan buhtan

  1. III.     PEMBAHASAN
  2. Hadits-haits yang termasuk dalam pembahasan akhlak terpuji
  3. Hadits tentang orang baik adalah orang yang baik akhlaknya
عَنِ النَّوَّاسِ بْنِ سَمْعَانَ الأَنْصَارِىِّ قَالَ سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَنِ الْبِرِّ وَالإِثْمِ فَقَالَ الْبِرُّ حُسْنُ الْخُلُقِ وَالإِثْمُ مَا حَاكَ فِى صَدْرِكَ وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ (رواه مسلم)
Artinya:
Dari An Nawwas ra. Ia berkata: “saya menanyakan tentang kebajikan dan dosa (kejahatan) kepada Rasulullah saw. Kemudian Beliau menjawab: “kebajikan itu adalah budi pekerti yang baik, dan dosa (kejahatan) itu adalah sesuatu yang merisaukan hatimu dan kamu tidak senang bila hal itu diketahui orang lain.” (H.R. Muslim).[1]

Akhlak adalah perilaku lisan, perbuatan fisik, bahkan perbuatan diam kita. Semua tindak-tanduk kita adalah akhlak kita. Akhlak terpuji adalah akhlak yang baik, diwujudkan dalam bentuk sikap, ucapan dan perbuatan yang baik sesuai dengan ajaran islam. Akhlak terpuji yang ditujukan kepada Allah swt berupa ibadah, dan kepada Rasulullah saw. dengan mengikuti ajaran-ajarannya, serta kepada sesama manusia dengan selalu bersikap baik pada manusia yang lain.[2]
Menjadi manusia yang berakhlak mulia bukanlah suatu hal yang mudah. Nabi Muhammad saw. diutus oleh Allah swt. kepada kita semua untuk memperbaiki akhlak manusia. Beliau bersabda: “sesungguhnya aku diutus hanya untuk memperbaiki akhlak“. Akhlak adalah cermin hati. Artinya, ketika seseorang berakhlak baik maka berarti ia memiliki hati yang bersih dan jernih. Sedangkan orang yang memiliki akhlak buruk maka hidupnya akan suram, dan akan membawa kerusakan baik bagi dirinya sendiri dan lingkungan sekitarnya. Itulah sebabnya setiap manusia harus memperbaiki  akhlaknya.[3]
Memiliki akhlak yang baik atau akhlak mulia bagi setiap manusia adalah suatu hal yang sangat penting. Karena dimanapun kita berada, apapun pekerjaan kita, akan di senangi oleh siapa pun. Artinya, akhlak menentukan baik buruknya seseorang di hadapan sesama.

  1. Hadits tentang kejujuran membawa kebaikan
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِنَّ الصِّدْقَ بِرٌّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِى إِلَى الْجَنَّةِ وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا وَإِنَّ الْكَذِبَ فُجُورٌ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِى إِلَى النَّارِ وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ كَذَّابًا (متفق عليه)
Artinya:
Dari Ibnu Mas’ud ra. Berkata, Rasulullah saw. Bersabda: “sesungguhnya shidq (kejujuran) itu membawa kepada kebaikan, Dan kebaikan itu membawa ke surga. Seseorang akan selalu bertindak jujur sehingga ia ditulis di sisi  Allah swt sebagai orang yang jujur. Dan sesungguhnya dusta itu membawa kepada kejahatan, dan kejahatan itu membawa ke neraka. Seseorang akan selalu berdusta sehingga ia ditulis di sisi Allah swt sebagai pendusta”. (Muttafaqun ‘Alaih).[4]

Yang dimaksud jujur adalah kebenaran, yaitu sesuainya antara perkataan dan kenyataan atau I’tiqad yang ada di dalam hati. Perilaku jujur tidak hanya diwujudkan dalam ucapan tapi juga dalam hatinya dan juga dalam setiap tingkah laku dan perbuatan kita. Bahkan untuk hal yang sekecil apapun dari setiap aspek kehidupan, kita diminta untuk berlaku jujur. Kebenaran perkataan akan membawa dampak kebenaran perbuatan dan kebaikan dalam seluruh tindakan.
Jika seseorang selalu berkata dan berbuat yang benar, maka cahaya kebenaran itu akan memancarkan ke dalam lubuk hati dan pikirannya. Kejujuran ialah ketenangan hati, artinya orang yang berkata jujur dalam hidupnya akan selalu merasa tenang, karena ia sudah menyampaikan apa yang sesuai dengan realita dan ia tidak akan merasa ragu, karena ia yakin bahwa semua apa yang dilakukannya benar.
Kejujuran merupakan suatu pondasi yang mendasari iman seseorang, karena sesungguhnya iman itu adalah membenarkan dalam hati akan adanya Allah. Jika dari hal yang kecil saja ia sudah terlatih untuk jujur maka untuk urusan yang lebih besar ia pun terbiasa untuk jujur. [5]
Menjadi orang jujur atau pendusta merupakan pilihan bagi setiap orang, dan masing-masing pilihan memiliki konsekuensinya sendiri. Bagi orang yang memilih menjalani hidupnya dengan penuh kejujuran dalam segala aspek kehidupannya, maka ia akan memiliki citra yang baik di mata orang-orang yang mengenalnya. Ketika  seseorang selalu berkata jujur dan berbuat benar, maka akan diterima ucapannya di hadapan orang-orang dan diterima kesaksiannya di hadapan para hakim serta disenangi pembicaraanya. Sebaliknya, bagi mereka yang selalu berlaku dusta dalam hidupnya, maka ia tidak akan memliki pandangan yang baik oleh orang-orang di sekitarnya.

  1. Hadits tentang perbuatan baik dengan tetangga
عن أبي هريرة قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فلا يؤذ جاره ومن كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليكرم ضيفه ومن كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليقل خيرا أو ليصمت (رواه البخاري)
Artinya:
Dari Abu Hurairah ra. Bahwa Rasulullah saw bersabda: “barang siapa yang beriman kepada Allah swt dan hari akhir, maka janganlah ia menyakiti tetangganya. Dan barang siapa yang beriman kepada Allah swt dan hari akhir, maka hendaklah ia memuliakan tamunya. Dan barang siapa yang beriman kepada Allah swt dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata yang baik atau diam”. (Muttafaqun ‘alaih).[6]
Dari hadits di atas dapat kita ambil pelajaran, untuk mengukur keimanan seseorang menurut cara Rasulullah saw. Yaitu agar keimanan seorang muslim dilihat dari tiga hal, yaitu: kebaikannya terhadap tetangga, berbuat baik kepada tamu dan perkataannya kepada orang lain. Tiga alat ukur yang sudah disampaikan oleh Rasulullah saw di atas bisa dijadikan barometer bagi seseorang dalam kehidupan sehari-hari.[7]
Tidak menyakiti hati tetangga, menghormati tamu, dan berkata baik atau memilih diam menjadi kerangka ukur bagi orang yang beriman kepada Allah swt dan hari akhir. Orang yang sudah mendeklarasikan beriman kepada Allah swt dan hari akhir, dilarang keras mengganggu apalagi menyakiti tetangga, baik fisik maupun psikis. Menghormati dan memuliakan orang lain merupakan langkah baik untuk membangun relasi antara lembaga keluarga dengan tetangga.[8]

  1. Hadits tentang etika duduk di jalan
عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه: عن النبي صلى الله عليه و سلم قال: إياكم والجلوس في الطرقات. فقالوا: ما لنا بد إنما هي مجالسنا نتحدث فيها. قال: فإذا أبيتم إلا المجالس فأعطوا الطريق حقها. قالوا: وما حق الطريق؟ قال: غض البصر وكف الأذى ورد السلام وأمر بالمعروف ونهي عن المنكر (رواه البخاري و مسلم)
Artinya:
Dari abu sa’id al-khudry ra dari nabi saw. Beliau bersabda: “jauhilah duduk-duduk di tepi jalan!” para sahabat terbanya: “wahai rasulullah kami tidak bisa meninggalkan tempat-tempat itu, karena di tempat itulah kami membicarakan sesuatu” rasulullah saw bersabda: “apabila kalian tidak bisa meninggalkan dududk-duduk di sana, maka penuhilah hak jalan itu” para sahabat bertanya: “apakah hak jalan itu, wahai rasulullah?” beliau menjawab: “memejamkan mata, tidak mengganggu, menjawab salam, amar ma’ruf dan nahi munkar”. (H.R. Bukhari dan Muslim).[9]

Kandungan hadits di atas adalah larangan keras duduk-duduk di pinggir jalan, sebab itu adalah majelis setan, kecuali apabila hak jalan tersebut ditunaikan.
Sebagaimana dalam hadits lain Rasulullah saw bersabda:
) فَإِنَّهَا سَبِيلٌ مِنْ سُبُلِ الشَّيْطَانِ أَوِ النَّارِ(
Artinya:
“Sesungguhnya (tepi) jalanan itu adalah salah satu dari jalan-jalan setan atau neraka”.

Itulah alasan kenapa Nabi Saw melarang kita duduk-duduk di tepi jalanan atau semisalnya.
Tetapi dari hadits di atas kita dapati pula bahwa selain Rasulullah saw. melarang duduk di pinggir jalan, Beliau membolehkannya dengan catatan harus menunaikan hak-hak jalan tersebut sebagai syarat pembolehannya. Kita juga dapati bahwa larangan duduk di pinggir jalan ditujukan bagi mereka yang tetap ingin duduk di pinggir jalan tetapi tidak menunaikan syarat-syarat tadi.
Rasullullah saw berpesan, bahwa jika memang duduk di jalan itu diperlukan dan tidak bisa ditinggalkan, maka wajib memenuhi hak-hak orang lain yang melewati mereka, di antaranya yang disebutkan dalam hadits ini ada empat macam hak. Yaitu: pertama, menundukkan (membatasi) pandangan (dari melihat para wanita yang bukan mahramnya yang melewatinya atau hal-hal yang diharamkan). kedua, tidak mengganggu (menyakiti) orang dengan ucapan maupun perbuatan. ketiga, menjawab salam. keempat, memerintahkan (manusia) kepada kebaikan dan mencegah (mereka) dari perbuatan mungkar.

  1. Hadits-haits yang termasuk dalam pembahasan akhlak tercela
  2. Hadits tentang buruk sangka
عن أبي هريرة : عن النبي صلى الله عليه و سلم قال: إياكم والظن فإن الظن أكذب الحديث ولا تحسسوا ولا تجسسوا ولا تحاسدوا ولا تدابروا ولا تباغضوا وكونوا عباد الله إخوانا (رواه البخاري)
Artinya:
Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah saw bersabda: ”jauhilah oleh kalian berprasangka, karena Sesungguhnya berprasangka itu ucapan paling dusta. Janganlah mencari-cari kesalahan orang lain, janganlah memata-matai, janganlah saling bersaing, iri hati, benci dan berselisih. Jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara”. (H.R. Bukhari).[10]

Persaudaraan menjadi kata kunci pesan Rasulullah dalam hadits di atas. Dalam membina dan menjaga keutuhan persaudaraan, kita harus selalu menjauhi prasangka, mencari-cari kesalahan orang lain, memata-matai, saling iri, dan benci satu dengan yang lain. Jika kita tidak bisa menjauhi apa yang sudah digariskan Rasulullah (kebiasaan jelek) di atas, maka yang tersisa adalah sebuah permusuhan dan saling membenci antara satu dengan yang lain. Tentu ini adalah awal bencana keretakan, ketidakrukunan dan hilangnya harmoni di dalam lingkungan keluarga dan masyarakat.[11]

  1. Hadits tentang ghibah dan buhtan
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ. قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ. قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِى أَخِى مَا أَقُولُ قَالَ إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ (رواه مسلم)
Artinya:
Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah saw bertanya: “tahukah kamu sekalian, apakah menggunjing itu?” para sahabat berkata: “Allah swt dan Rasul-Nya lebih mengetahui’. Beliau bersabda: “yaitu bila kamu menceritakan keadaan saudaramu yang ia tidak menyenanginya”. Ada seorang sahabat bertanya: “bagaimana seandainya saya menceritakan apa yang sebenarnya terjadi pada saudara saya itu?” beliau menjawab: “apabila kamu menceritakan apa yang sebenarnya terjadi pada saudaramu itu, maka berarti kamu telah menggunjingnya, dan apabila kamu menceritakan apa yang sebenarnya tidak terjadi pada saudaramu, maka kamu bener-benar membohongkannya”. (H.R. Muslim)[12]

Dari hadits di atas Nabi saw menjelaskan makna ghibah, yaitu dengan menyebut-nyebut orang lain dengan sesuatu yang ia benci, baik tentang fisiknya maupun sifat-sifatnya. Maka setiap kalimat yang kita ucapkan sementara ada orang lain yang membencinya, jika ia tahu kita mengatakan demikian maka itulah ghibah. Dan jika sesuatu yang kita sebutkan itu ternyata tidak ada pada dirinya, berarti kita telah melakukan dua kejelekan sekaligus: ghibah dan buhtan (dusta).
Imam Nawawi ra mengatakan, “Ghibah berarti seseorang menyebut-nyebut sesuatu yang dibenci saudaranya baik tentang tubuhnya, agamanya, duniannya, jiwanya, akhlaknya,hartanya, anak-anaknya,istri-istrinya, pembantunya, gerakannya, mimik bicarnya atau kemuraman wajahnya dan yang lainnya yang bersifat mngejek baik dengan ucapan maupun isyarat”.[13]
Tidak semua jenis ghibah dilarang dalam agama. Ada beberapa jenis ghibah yang diperbolehkan yaitu yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan yang benar dan tidak mungkin tercapai kecuali dengan ghibah. Ada enam jenis ghibah yang diperbolehkan, yaitu:[14]
  1. Orang yang terdzolimi mengadukan kedzoliman yang dilakukan orang lain kepada penguasa atau hakim yang berkuasa yang memiliki kekuatan untuk mengadili perbuatan tersebut. Sehingga diperbolehkan mengatakan,”Si Fulan telah mendzalimi diriku” atau “Dia telah berbuat demikian kepadaku.”
  1. Meminta bantuan untuk menghilangkan kemungkaran dan mengembalikan pelaku maksiat kepada kebenaran. Maka seseorang diperbolehkan mengatakan, “Fulan telah berbuat demikian maka cegahlah dia!”
  2. Meminta fatwa kepada mufti (pemberi fatwa) dengan mengatakan: ”Si Fulan telah mendzolimi diriku, apa yang pantas ia peroleh? Dan apa yang harus saya perbuat agar terbebas darinya dan mampu mencegah perbuatan buruknya kepadaku?”
Atau ungkapan semisalnya, Hal ini diperbolehkan karena ada kebutuhan. Dan yang lebih baik hendaknya pertanyaan tersebut diungkapkan dengan ungkapan global, contohnya: “Seseorang telah berbuat demikian kepadaku” atau “Seorang suami telah berbuat dzolim kepada istrinya” atau “Seorang anak telah berbuat demikian” dan sebagainya. Meskipun demkian menyebut nama seseorang tertentu diperbolehkan, sebagaimana hadits Hindun ketika beliau mengadukan (suaminya) kepada Rasulullah saw, “Sesungguhnya Abu Sufyan adalah orang yang sangat pelit.”
  1. Memperingatkan kaum muslimin dari kejelekan, contohnya memperingatkan kaum muslimin dari perawi-perawi cacat supaya tidak diambil hadits ataupun persaksian darinya, memperingatkan dari para penulis buku (yang penuh syubhat). Menyebutkan kejelekan mereka diperbolehkan secara ijma’ bahkan terkadang hukumnya menjadi wajib demi menjaga kemurnian syari’at.
  2. Ghibah terhadap orang yang melakukan kefasikan atau bid’ah secara terang-terangan, seperti menggunjing orang yang suka minum minuman keras, dan perbuatan maksiat lainnya. Diperbolehkan menyebutkannya dalam rangka menghindarkan masyarakat dari kejelekannya.
  3. Menyebut identitas seseorang yaitu ketika seseorang telah masyhur dengan gelar tersebut. Seperti si buta, si pincang, si buta lagi pendek, si buta sebelah, si buntung maka diperbolehkan menyebutkan nama-nama tersebut sebagai identitas diri seseorang. Hukumnya haram jika digunakan untuk mencela dan menyebut kekurangan orang lain. Namun lebih baik jika tetap menggunakan kata yang baik sebagai panggilan. (Syarhun Nawawi ‘ala Muslim, Hal.400).
  4. C.  KESIMPULAN
Manusia yang mulia bukanlah yang banyak harta bendanya, tinggi kedudukannya, tampan rupanya ataupun keturunan bangsawan, akan tetapi yang terpuji akhlaknya. Baik akhlak terhadap Allah swt. maupun akhlak terhadap sesama manusia.
Kunci akhlak yang baik adalah dari hati yang bersih. Dan hati yang bersih adalah hati yang selalu mendapatkan cahaya dan sinar dari Allah SWT. Dengan sinar itu, hati akan dapat melihat dengan jelas mana akhlak yang baik dan mana akhlak yang buruk. Mana perbuatan terpuji dan mana perbuatan yang tercela. Maka dari itu kita harus selalu berdoa kepada Allah SWT agar hati kita selalu mendapatkan cahaya dari-Nya.

  1. D.       PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat kami buat, semoga dapat mendatangkan manfaat bagi kami (pemakalah) khususnya, dan bagi pembaca pada umumnya. Kami selalu mengharapkan kritik dan saran yang bersifat konstruktif demi kesempurnaan makalah kami yang berikutnya.


















DAFTAR PUSTAKA

Adib, Ahmad Al Arif, Akidah Akhlak (Semaran: C.V. Aneka Ilmu, 2009)
Juwariyah, Hadis Tarbawi (Yogyakarta: Teras, 2010)

Muhammad, Ahmad Yusuf, Ensiklopedi Tematis Ayat Al-Qur’an dan Hadits, (Jakarta: widya cahaya, 2009) cet I
Nawawi, Imam, Riyadhus Shalihin, Terj. Ahmad Sunarto, (Jakarta: Pustaka Imani, 1999)

Ummatin, Khoiro, 40 Hadits Shahih Pedoman Membangun Hubungan Bertetangga, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2006) cet.I

http://muslimah.or.id/akhlak-dan-nasehat/rasulullah-shalallahualaihi-wasallam-mengajarimu-arti-ghibah-sesungguhnya.html

http://www.google.co.id/search?q=abu+huroiroh+tentang+ghibah+dan+buhtan&ie=utf-8&oe=utf-8&aq=t&rls=org.mozilla:en-GB:official&client=firefox-a


[1] Ahmad Muhammad Yusuf, Ensiklopedi Tematis Ayat Al-Qur’an dan Hadits, (Jakarta: widya cahaya, 2009) cet I. hal.84
[2] Ahmad  Adib Al Arif, Akidah Akhlak (Semaran: C.V. Aneka Ilmu, 2009) hal.22
[3] Ibid, hal.52
[4] Juwariyah, Hadis Tarbawi (Yogyakarta: Teras, 2010) hal.70
[5] Ibid, hal.72
[6] Ahmad Muhammad Yusuf, Op.Cit, hal.548
[7] Ibid, hal.26
[8] Khoiro Ummatin, 40 Hadits Shahih Pedoman Membangun Hubungan Bertetangga, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2006) cet.I hal.17
[9] Imam Nawawi, Riyadhus Shalihin, Terj. Ahmad Sunarto, (Jakarta: Pustaka Imani, 1999) hal.217
[10] Khoiro Ummatin, Op.cit, hal.22
[11] Ibid, hal.23
[12] Ahmad Muhammad Yusuf, Op.cit, hal.553

0 komentar:

Posting Komentar