Pages

Sabtu, 08 Juni 2013

"PUASA RAMADHAN"

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Ramadhan merupakan hadiah dari Allah untuk orang-orang beriman selama satu bulan dalam setahun. Hadiah Rabaniyah agar derajat dan kualitas kemanusiaan mereka meningkat sehingga menjadi orang-orang yang bertaqwa. Dengan datangnya bulan Ramadahan, Allah SWT memberikan tambahan gizi kekuatan iman dan ruhiyah, sehingga posisi mereka meningkat naik melebihi permasalahan yang dihadapinya. Maka dalam suasana keimanan dan Ruhiyah yang kuat umat Islam dapat sukses mengatasi permasalahan hidupnya.
Faktor permasalahan internal umat Islam muncul ketika mereka menuruti hawa nafsu dan tarikan-tarikan syahwat keduniaan. Sementara  faktor permasalahan eksternal umat Islam datang dari orang-orang kafir yang melakukan konspirasi dan makar terhadap mereka.
Ramadhan datang bukan untuk membuat umat Islam lemah, lesu dan takut, karena melaksanakan Shaum, Tilawah Al-Qur’an, dan Tarawih. Tetapi Ramadhan datang untuk membuat umat Islam lebih kuat, bersemangat, berani dan berjihad membebaskan dominasi musuh-musuhnya baik musuh internal maupun musuh eksternal.
Momentum tahunan Ramadhan harus dipersiapkan umat Islam dengan sebaik-baiknya sehingga visi Ramadhan dapat tercapai yaitu terealisasinya ketaqwaan. Dengan ketaqwaan inilah yang melahirkan keberkahan dari langit dan bumi, pembuka pintu rahmat Allah SWT dan jalan keluar dan solusi atas segala krisis multi dimensional.

B.     Rumusan Masalah
1.      Pengertian puasa Ramadhan,
2.      Dasar hukum puasa Ramadhan,
3.      Syarat dan rukun puasa Ramadhan,
4.      Hal yang membatalkan puasa Ramadhan.







BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Puasa Ramadhan
Puasa (shaum), menurut bahasa Arab artinya menahan dari segala sesuatu, seperti menahan tidur, menahan berbicara, menahan makan, dan sebagainya.[1] Hal yang serupa dikatakan oleh Usamah Abdul Aziz bahwa puasa (shaum) pada dasarnya berarti menahan diri dari melakukan suatu perbuatan, baik makan, berbicara maupun berjalan. Oleh karena itu, kuda yang tidak mau berjalan atau memakan rumput disebut shaim (kuda yang tidak mau berjalan). Penyair berkata, “Khailun Shiyaamuw wa Ukhro Ghairu Shaaimatin” artinya kuda-kuda ini tidak mau berjalan dan kuda-kuda yang lain mau berjalan.[2]
Sedangkan puasa (shaum) menurut istilah agama Islam adalah amal ibadah yang dilaksanakan dengan cara menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan puasa mulai terbit fajar sampai terbenam matahari disertai dengan niat karena Allah dengan syarat dan rukun tertentu.[3] Namun ada yang mengatakan bahwa puasa (shaum) adalah bentuk menahan yang khusus pada waktu yang khusus dengan cara yang khusus pula.[4] Adapun pengertian Ramadhan adalah pembakaran.[5] Istilah Ramadhan telah menjadi nama salah satu bulan dalam sistem penanggalan Hijriyah.
Dengan demikian, puasa Ramadhan adalah amal ibadah yang dilakukan dengan cara menahan yang khusus, yaitu menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan puasa pada waktu yang khusus yaitu selama bulan Ramadhan mulai dari terbit fajar sampai terbenam matahari disertai niat karena Allah dengan syarat dan rukun tertentu.
B.     Dasar Hukum Puasa Ramadhan
Puasa Ramadhan hukumnya wajib dilaksanakan oleh setiap muslim yang sudah baligh, berakal, sehat dan tidak sedang bepergian (karena kalau sedang bepergian, ia boleh berbuka, namun wajib qadha di hari yang lain kelak). Di antara dalil wajibnya puasa bulan Ramadhan ini adalah:
$ygƒr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä |=ÏGä. ãNà6øn=tæ ãP$uÅ_Á9$# $yJx. |=ÏGä. n?tã šúïÏ%©!$# `ÏB öNà6Î=ö7s% öNä3ª=yès9 tbqà)­Gs? ÇÊÑÌÈ  
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,” (Al-Baqarah: 183).
Kemudian, dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seseorang akan mendapatkan kehinaan dan kerendahan jika dia memasuki bulan Ramadhan dan Ramadhan ini telah berlalu sebelum dia diampuni.” [HR. At-Tirmidzi, Ahmad, Al-Hakim, dan Ibnu Hibban][6]
ayat24.jpg
Maka barangsiapa diantara kamu melihat bulan itu (Ramadhan), hendaklah ia berpuasa.” (QS. Al Baqarah:185)
Dari Abu Abdirrahman Abdullah ibnu Umar Ibnul Khaththab radhiallahu ‘anhuma berkata: “Aku telah mendengar Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda: “Islam dibangun diatas lima perkara: bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, membayar zakat, menunaikan haji dan puasa pada bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari , Muslim)
Dalam riwayat Muslim:..”puasa pada bulan Ramadhan dan menunaikan haji.”
Kaum Muslimin telah berijma’ (bersepakat) bahwa puasa pada bulan Ramadhan hukumnya adalah wajib dan barangsiapa mengingkarinya maka ia kafir.
Puasa Ramadhan ini diwajibkan pada tahun kedua Hijriyyah, maka Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam berpuasa selama sembilan kali Ramadhan. (Majalis Syarh Ramadhan, karya Syaikh Utsaimin hal 21 dan setelahnya).
Setiap orang Islam yang telah baligh lagi berakal maka wajib atasnya berpuasa pada bulan Ramadhan. (Fushul Fi Ash Shiyam wa At Tarawih wa Az Zakah, Ibnu Utsaimin hal 5)



C.     Syarat Dan Rukun Puasa Ramadhan

Mazhab Hanafi mensyaratkan 3 hal untuk kesahan puasa, yaitu:
a.       Niat,
b.      Tidak ada hal yang menafikan puasa, baik karena haid maupun nifas, dan
c.       Tidak ada hal yang membatalkan puasa

Mazhab Maliki berpendapat bahwa syarat syah puasa ada 4, yaitu:
a.       Niat,
b.      Suci dari haid dan nifas,
c.       Islam, dan
d.      Waktu yang layak untuk berpuasa, puasa tidak sah dilakukan pada hari raya

Sedangkan Mazhab Syafi’I juga berpendapat bahwa syarat sah puasa ada 4, yaitu:
a.       Islam,
b.      Berakal,
c.       Suci dari haid dan nifas sepanjang siang
d.      Berniat.

Menurut Mazhab Hanbali, syarat sah puasa ada 3, yaitu:
a.       Islam,
b.      Berniat, serta
c.       Suci dari haid dan nifas

Dari uraian diatas, tampaklah bahwa para ulama mazhab sepakat atas pensyaratan niat serta suci haid dan nifas.[7]

Jadi dapat disimpulkan bahwa syarat dan rukun puasa ramadhan adalah:
Syarat wajib puasa:
1. Islam
Puasa tidak wajib bagi orang kafir dalam hukum dunia, namun di akhirat mereka tetap dituntut dan diadzab karena meninggalkan puasa selain diadzab karena kekafirannya. Sedangkan orang murtad tetap wajib puasa dan mengqodho’ kewajiban-kewajiban yang ditinggalkannya selama murtad.
2. Mukallaf (baligh dan berakal).
Anak yang belum baligh atau orang gila tidak wajib puasa, namun orang tua wajib menyuruh anaknya berpuasa pada usia 7 tahun jika telah mampu dan wajib memukulnya jika meninggalkan puasa pada usia 10 tahun.
3. Mampu mengerjakan puasa (bukan orang lansia atau orang  sakit).
Lansia yang tidak mampu berpuasa atau orang sakit yang tidak ada harapan untuk sembuh menurut medis wajib mengganti puasanya dengan membayar fidyah yaitu satu mud (7,5 ons) makanan pokok untuk setiap harinya.
4. Mukim (bukan musafir sejauh ± 82 km dan keluar dari batas daerahnya sebelum fajar).
Rukun-rukun puasa:
1.      Niat,
Niat untuk puasa wajib, mulai terbenamnya matahari sampai terbitnya fajar di setiap harinya. Sedangkan niat untuk puasa sunnah, sampai tergelincirnya matahari (waktu duhur) dengan syarat:
Niat puasa Ramadhan yang sempurna:
نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ اَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَان هذِهِ السَّنَة ِللهِ تَعَالَى
Saya niat mengerjakan kewajiban puasa bulan Ramadhan esok hari pada tahun ini karena Allah SWT.
2.      Menghindari perkara yang membatalkan puasa. Kecuali jika lupa atau dipaksa atau karena kebodohan yang ditolerir oleh syari’at (jahil ma’dzur).
Jahil ma’dzur/kebodohan yang ditolerir syariat ada dua:
a. Hidup jauh dari ulama’.
b. Baru masuk islam.
D.    Hal Yang Membatalkan Puasa Ramadhan
Ahli fiqh membagi hal-hal yang membatalkan puasa kepada dua bentuk, yaitu: sesuatu yang membatalkan dan wajib meng-qadha dan sesuatu yang membatalkan dan wajib meng-qadha dan kaffarat.
Adapun hal-hal yang membatalkan puasa dan wjib meng-qadha nya adalah:
a.      Makan dan minum dengan sengaja.
Seseorang yang sengaja makan dan minum pada siang hari Ramadhan puasanya dinyatakan batal dan wajib menggabtikannya pada hari-hari lain.
b.     Muntah dengan sengaja.
Seseorang yang dalam keadaan puasa kemudian dengan sengaja memuntahkan sesuatu dari perutnya maka puasanya menjadi batal.
c.      Haid dan nifas.
Para ulama telah sepakat menetapkan batalnya puasa seseorang apabila darah haid atau nifasnya keluar, karena suci dari darah haid dan nifas telah disepakati sebagai salah satu syarat syah puasa. Jika syarat ini tidak terpenuhi maka puasanya tidak sah.[8]
d.     Keluar mani dengan sengaja (Karena bersentuhan dengan perempuan dan lainnya). Karena keluar mani itu adalah puncak yang dituju orang pada persetubuhan, maka hukumnya disamakan dengan bersetubuh. Oleh karena itu puasanya akan batal, tetapi jika keluar mani karena bermimpi puasa tersebut tidak batal.
e.       Gila.
Sedangkan yang termasuk hal-hal yang membatalkan puasa dan mewajibkan qadha dan kafarat menurut jumhur fukaha hanyalah melakukan hubungan seksual disiang hari ramadhan.

Masalah masalah yang berkaitan dengan puasa:
1. Apabila seseorang berhubungan dengan istrinya pada siang hari Ramadhan dengan sengaja, tanpa terpaksa dan mengetahui keharamannya maka puasanya batal, berdosa, wajib menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa sampai maghrib dan wajib mengqodhoi puasa serta wajib membayar kaffaroh [denda] yaitu:
Ø  Membebaskan budak perempuan yang islam
Ø  Jika tidak mampu, wajib berpuasa dua bulan berturut turut,
Ø  Jika tidak mampu maka wajib memberi makanan pada 60 orang miskin masing-masing berupa 1 mud (7,5 ons) dari makanan pokok. Denda ini wajib dikeluarkan hanya bagi laki laki.
2.  Hukum menelan dahak :
·         Jika telah mencapai batas luar tenggorokan, maka haram menelan dan membatalkan puasa.
·         Jika masih di batas dalam tenggorokan, maka boleh dan tidak membatalkan puasa.
Yang dimaksud batas luar menurut pendapat Imam Nawawi (mu’tamad) adalah makhroj huruf kha’ (ح), dan dibawahnya adalah batas dalam. Sedangkan menurut sebagian ulama’ batas luar adalah makhroj huruf kho’(خ), dan di bawahnya adalah batas dalam.
3.  Menelan ludah tidak membatalkan puasa dengan syarat:
Ø  Murni (tidak tercampur benda lain)
Ø  Suci
Ø  Berasal dari sumbernya yaitu lidah dan mulut, sedangkan menelan ludah yang berada pada bibir luar membatalkan puasa karena sudah di luar mulut.
4.  Hukum masuknya air mandi ke dalam rongga dengan tanpa sengaja:
Ø  Jika sebab mandi sunnah seperti mandi untuk sholat jum’at atau mandi wajib seperti mandi janabat maka tidak membatalkan puasa kecuali jika sengaja atau menyelam.
Ø  Jika bukan mandi sunnah atau wajib seperti mandi untuk membersihkan badan maka puasanya batal baik disengaja atau tidak.
5.  Hukum air kumur yang tertelan tanpa sengaja:
·         Jika berkumur untuk kesunnahan seperti dalam wudhu’ tidak membatalkan puasa asalkan tidak terlalu ke dalam (mubalaghoh)
·         Jika berkumur biasa, bukan untuk  kesunnahan maka puasanya batal secara mutlak, baik terlalu ke dalam (mubalaghoh) atau tidak.
6. Orang yang muntah atau mulutnya berdarah wajib berkumur dengan mubalaghoh (membersihkan hingga ke pangkal tenggorokan) agar semua bagian mulutnya suci.
Apabila ia menelan ludah tanpa mensucikan mulutnya terlebih dahulu maka puasanya batal sekalipun ludahnya nampak bersih.
7.  Orang yang sengaja membatalkan puasanya atau tidak berniat di malam hari, wajib menahan diri di siang hari Ramadhan dari perkara yang membatalkan puasa (seperti orang puasa) sampai maghrib dan setelah Ramadhan wajib mengqodhoi puasanya.
8.  Berbagai konsekuensi bagi orang yang tidak berpuasa atau membatalkan puasa Ramadhan:
a. Wajib qodho’ dan membayar denda :
·         Jika membatalkan puasa demi orang lain. Seperti perempuan mengandung dan menyusui yang tidak puasa karena kuatir pada kesehatan anaknya saja.
·         Mengakhirkan qodho’ hingga datang Ramadhan lagi tanpa ada udzur.
b.      Wajib qodho’ tanpa denda.
Berlaku bagi orang yang tidak berniat puasa di malam hari, orang yang membatalkan puasanya dengan selain jima’ (bersetubuh) dan perempuan hamil atau menyusui yang tidak puasa karena kuatir pada kesehatan dirinya saja atau kesehatan dirinya dan anaknya.
c.       Wajib denda tanpa qodho’.
Berlaku bagi orang lanjut usia dan orang sakit yang tidak punya harapan sembuh, jika keduanya tidak mampu berpuasa.
d.      Tidak wajib qodho’ dan tidak wajib denda.
Berlaku bagi orang yang gila tanpa disengaja.
Yang dimaksud denda di sini adalah 1 mud (7,5 ons) makanan pokok daerah setempat untuk setiap harinya.
Hal-hal yang disunnahkan dalam puasa Ramadhan:
1. Menyegerakan berbuka puasa.
2. Sahur, sekalipun dengan seteguk air.
3. Mengakhirkan sahur, dimulai dari tengah malam.
4. Berbuka dengan kurma. Disunnahkan dengan bilangan ganjil. Bila tak ada kurma, maka air zam-zam. Bila tak ada, cukup dengan air putih. Bila tak ada, dengan apa saja yang berasa manis alami. Bila tak ada juga, berbuka dengan makanan atau minuman yang diberi pemanis.
5. Membaca doa berbuka yaitu:
اَللّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَبِكَ آمَنْتُ وَعَلىَ رِزْقِكَ اَفْطَرْتُ ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ اْلعُرُوقُ وَثَبَتَ اْلأَجْرُ اِنْ شَاءَ اللهُ .اَلْحَمْدُ ِللهِ الَّذِي أَعَانَنِي فَصُمْتُ وَرَزَقَنِي فَأَفْطَرْتُ اَللّهُمَّ اِنِّي أَسْأَلُكَ بِرَحْمَتِكَ الَّتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ اَنْ تَغْفِرَ لِي .
6. Memberi makanan berbuka kepada orang berpuasa.
7. Mandi janabat sebelum terbitnya fajar bagi orang yang junub di malam hari.
8. Mandi setiap malam di bulan Ramadhan
9. Menekuni sholat tarawih dan witir.
10. Memperbanyak bacaan Al Quran dengan berusaha memahami artinya.
11. Memperbanyak amalan sunnah dan amal sholeh.
12. Meninggalkan caci maki.
13. Berusaha makan dari yang halal
14. Bersungguh-sungguh di sepuluh hari terakhir, dan lain-lain
Hal-hal yang dimakruhkan dalam puasa Ramadhan:
1.      Mencicipi makanan.
2.      Bekam [mengeluarkan darah].
3.      Banyak tidur dan terlalu kenyang.
4.      Mandi dengan menyelam.
5.      Memakai siwak setelah masuk waktu duhur.
Hal hal yang membatalkan pahala puasa:
1.      Ghibah (gosip).
2.      Adu domba.
3.      Berbohong.
4.      Memandang dengan syahwat.
5.      Sumpah palsu.
6.      Berkata jorok atau jelek.
Rasulullah SAW bersabda :
خمس يفطّرن الصائم الكذب والغيبة والنميمة واليمين الكاذبة والنظر بشهوة
“ Lima perkara yang membatalkan (pahala) puasa : berbohong, ghibah, adu domba, sumpah palsu dan melihat dengan syahwat “ (H.R. Anas)






BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa:
1.     Puasa yaitu suatu ibadah yang diperintahkan Allah kepada hamba-Nya yang beriman dengan cara mengendalikan diri dari syahwat makan, minum dan hubungan seksual serta perbuatan-perbuatan yang merusak nilai puasa pada waktu siang hari sejak terbit fajar sampai terbenamnya matahari.
2.     Puasa pada bulan ramadhan adalah hukumnya wajib dan merupakan bagian dari rukun islam.
3.  Puasa Ramadhan hukumnya wajib dilaksanakan oleh setiap muslim yang sudah baligh, berakal, sehat dan tidak sedang bepergian.
4.  Syarat sahnya puasa Ramadhan berdasarkan kesepakatan para ulama’ adalah Niat serta suci dari haid dan nifas.
5. Hal-hal yang membatalkan puasa adalah: makan minum dengan sengaja, muntah dengan sengaja, haid dan nifas, keluar air mani dengan sengaja, dan gila.

B.     Saran
Kepada seluruh umat Islam mari kita sambut Ramadhan yang akan datang dengan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat, karena semua manfaat itu akan mengkrucut menjadi satu yaitu tercapainya Visi Ramadhan, sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur'an.
ööNä3ª=yès9 tbqà)­Gs?
"Semoga kamu bertaqwa" Wallahu A'lam Bishawaab.




DAFTAR PUSTAKA


Abdul Aziz, Usamah. 2005. Puasa Sunnah: Hukum dan Keutamaannya. alih bahasa Abdillah. Lc. dari judul asli Shiyam At-tathawwu’ Fadhail wa Ahkam. Jakarta: darul Haq. cet. 2.

Lufti Fathullah, Ahmad. 2006. Hadits-Hadits Lemah dan Palsu dalam Kitab Durratun Nashihin (Keutamaan Bulan Rajab, Sya’ban, dan Ramadhan). Jakarta: Darrus Sunnah Press.

Rasjid, Sulaiman. 1976. Fiqih Islam. Jakarta: At-Thahiriyah.

Suparta, Muhammad dan Ghufran Ihsan. 1996. Fiqih. Semarang: CV. Karya Toha Putra.

Al-Zuhayly, Dr. Wahbah. 2005. Puasa dan Itikaf.

Zainudin MA, Dr. 1997. Fiqih Ibadah.


[1] Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, (Jakarta: At-Thahiriyah, 1976), cet. 17, hal. 216.
[2] Usamah Abdul Aziz, Puasa Sunnah: Hukum dan Keutamaannya, alih bahasa Abdillah, Lc, dari judul asli Shiyam At-tathawwu’ Fadhail wa Ahkam, (Jakarta: darul Haq, 2005), cet. 2, hal. 5.
[3] Muhammad Suparta dan Ghufran Ihsan, Fiqih, (Semarang: CV. Karya Toha Putra, 1996), hal. 36.
[4] Lihat Al-Mawardi, Al-Inshaf (3/269).
[5] Muhammad Suparta dan Ghufron Ihsan, Op.cit, hal. 44.
[6] Ahmad Lufti Fathullah, Hadits-Hadits Lemah dan Palsu dalam Kitab Durratun Nashihin (Keutamaan Bulan Rajab, Sya’ban, dan Ramadhan), (Jakarta: Darrus Sunnah Press, 2006), hal. 70
[7] Dr. Wahbah Al-Zuhayly, (Puasa dan Itikaf, 2005) hal: 169-170.
[8] Dr. Zainudin MA, (Fiqih Ibadah, 1997) hal: 160-162.

0 komentar:

Posting Komentar