BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Ramadhan merupakan hadiah dari Allah
untuk orang-orang beriman selama satu bulan dalam setahun. Hadiah Rabaniyah
agar derajat dan kualitas kemanusiaan mereka meningkat sehingga menjadi
orang-orang yang bertaqwa. Dengan datangnya bulan Ramadahan, Allah SWT
memberikan tambahan gizi kekuatan iman dan ruhiyah, sehingga posisi mereka
meningkat naik melebihi permasalahan yang dihadapinya. Maka dalam suasana
keimanan dan Ruhiyah yang kuat umat Islam dapat sukses mengatasi permasalahan
hidupnya.
Faktor permasalahan internal umat
Islam muncul ketika mereka menuruti hawa nafsu dan tarikan-tarikan syahwat
keduniaan. Sementara faktor permasalahan
eksternal umat Islam datang dari orang-orang kafir yang melakukan konspirasi
dan makar terhadap mereka.
Ramadhan datang bukan untuk membuat
umat Islam lemah, lesu dan takut, karena melaksanakan Shaum, Tilawah Al-Qur’an,
dan Tarawih. Tetapi Ramadhan datang untuk membuat umat Islam lebih kuat,
bersemangat, berani dan berjihad membebaskan dominasi musuh-musuhnya baik musuh
internal maupun musuh eksternal.
Momentum tahunan Ramadhan harus
dipersiapkan umat Islam dengan sebaik-baiknya sehingga visi Ramadhan dapat
tercapai yaitu terealisasinya ketaqwaan. Dengan ketaqwaan inilah yang
melahirkan keberkahan dari langit dan bumi, pembuka pintu rahmat Allah SWT dan
jalan keluar dan solusi atas segala krisis multi dimensional.
B.
Rumusan Masalah
1.
Pengertian puasa Ramadhan,
2.
Dasar hukum puasa Ramadhan,
3.
Syarat dan rukun puasa Ramadhan,
4.
Hal yang membatalkan puasa Ramadhan.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Puasa Ramadhan
Puasa (shaum), menurut bahasa
Arab artinya menahan dari segala sesuatu, seperti menahan tidur, menahan
berbicara, menahan makan, dan sebagainya.[1]
Hal yang serupa dikatakan oleh Usamah Abdul Aziz bahwa puasa (shaum)
pada dasarnya berarti menahan diri dari melakukan suatu perbuatan, baik makan,
berbicara maupun berjalan. Oleh karena itu, kuda yang tidak mau berjalan atau
memakan rumput disebut shaim (kuda yang tidak mau berjalan). Penyair
berkata, “Khailun Shiyaamuw wa Ukhro Ghairu Shaaimatin” artinya kuda-kuda
ini tidak mau berjalan dan kuda-kuda yang lain mau berjalan.[2]
Sedangkan puasa (shaum)
menurut istilah agama Islam adalah amal ibadah yang dilaksanakan dengan cara
menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan puasa mulai terbit fajar
sampai terbenam matahari disertai dengan niat karena Allah dengan syarat dan
rukun tertentu.[3]
Namun ada yang mengatakan bahwa puasa (shaum) adalah bentuk menahan yang
khusus pada waktu yang khusus dengan cara yang khusus pula.[4]
Adapun pengertian Ramadhan adalah pembakaran.[5]
Istilah Ramadhan telah menjadi nama salah satu bulan dalam sistem penanggalan
Hijriyah.
Dengan demikian, puasa Ramadhan
adalah amal ibadah yang dilakukan dengan cara menahan yang khusus, yaitu
menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan puasa pada waktu yang khusus
yaitu selama bulan Ramadhan mulai dari terbit fajar sampai terbenam matahari
disertai niat karena Allah dengan syarat dan rukun tertentu.
B.
Dasar Hukum Puasa Ramadhan
Puasa
Ramadhan hukumnya wajib dilaksanakan oleh setiap muslim yang sudah baligh,
berakal, sehat dan tidak sedang bepergian (karena kalau sedang bepergian, ia
boleh berbuka, namun wajib qadha di hari yang lain kelak). Di antara
dalil wajibnya puasa bulan Ramadhan ini adalah:
$ygr'¯»t
tûïÏ%©!$#
(#qãZtB#uä
|=ÏGä.
ãNà6øn=tæ
ãP$uÅ_Á9$#
$yJx.
|=ÏGä.
n?tã
úïÏ%©!$#
`ÏB
öNà6Î=ö7s%
öNä3ª=yès9
tbqà)Gs?
ÇÊÑÌÈ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan
atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar
kamu bertakwa,” (Al-Baqarah: 183).
Kemudian, dalam
sebuah hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Seseorang akan mendapatkan kehinaan dan
kerendahan jika dia memasuki bulan Ramadhan dan Ramadhan ini telah berlalu
sebelum dia diampuni.” [HR. At-Tirmidzi, Ahmad, Al-Hakim, dan Ibnu Hibban][6]
“Maka barangsiapa diantara
kamu melihat bulan itu (Ramadhan), hendaklah ia berpuasa.” (QS.
Al Baqarah:185)
Dari Abu Abdirrahman Abdullah
ibnu Umar Ibnul Khaththab radhiallahu ‘anhuma berkata: “Aku telah mendengar
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda: “Islam dibangun
diatas lima perkara: bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq selain Allah
dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, membayar zakat, menunaikan
haji dan puasa pada bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari , Muslim)
Dalam riwayat Muslim:..”puasa pada bulan
Ramadhan dan menunaikan haji.”
Kaum Muslimin telah berijma’
(bersepakat) bahwa puasa pada bulan Ramadhan hukumnya adalah wajib dan
barangsiapa mengingkarinya maka ia kafir.
Puasa Ramadhan ini diwajibkan
pada tahun kedua Hijriyyah, maka Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam
berpuasa selama sembilan kali Ramadhan. (Majalis Syarh Ramadhan, karya
Syaikh Utsaimin hal 21 dan setelahnya).
Setiap orang Islam yang telah
baligh lagi berakal maka wajib atasnya berpuasa pada bulan Ramadhan. (Fushul
Fi Ash Shiyam wa At Tarawih wa Az Zakah, Ibnu Utsaimin hal 5)
C.
Syarat Dan Rukun Puasa Ramadhan
Mazhab Hanafi mensyaratkan 3 hal untuk kesahan puasa, yaitu:
a.
Niat,
b.
Tidak ada hal yang
menafikan puasa, baik karena haid maupun nifas, dan
c.
Tidak ada hal yang
membatalkan puasa
Mazhab Maliki berpendapat bahwa syarat syah puasa ada 4, yaitu:
a.
Niat,
b.
Suci dari haid dan
nifas,
c.
Islam, dan
d.
Waktu yang layak untuk
berpuasa, puasa tidak sah dilakukan pada hari raya
Sedangkan Mazhab Syafi’I juga berpendapat bahwa syarat sah puasa
ada 4, yaitu:
a.
Islam,
b.
Berakal,
c.
Suci dari haid dan nifas
sepanjang siang
d.
Berniat.
Menurut Mazhab Hanbali, syarat sah puasa ada 3, yaitu:
a.
Islam,
b.
Berniat, serta
c.
Suci dari haid dan nifas
Dari uraian diatas, tampaklah bahwa para ulama mazhab sepakat atas
pensyaratan niat serta suci haid dan nifas.[7]
Jadi dapat disimpulkan
bahwa syarat dan rukun puasa ramadhan adalah:
Syarat wajib puasa:
1. Islam
Puasa tidak
wajib bagi orang kafir dalam hukum dunia, namun di akhirat mereka tetap
dituntut dan diadzab karena meninggalkan puasa selain diadzab karena
kekafirannya. Sedangkan
orang murtad tetap wajib puasa dan mengqodho’ kewajiban-kewajiban yang
ditinggalkannya selama murtad.
2.
Mukallaf (baligh dan berakal).
Anak yang belum
baligh atau orang gila tidak wajib puasa, namun orang tua wajib menyuruh
anaknya berpuasa pada usia 7 tahun jika telah mampu dan wajib memukulnya jika
meninggalkan puasa pada usia 10 tahun.
3. Mampu
mengerjakan puasa (bukan orang lansia atau orang sakit).
Lansia yang
tidak mampu berpuasa atau orang sakit yang tidak ada harapan untuk sembuh
menurut medis wajib mengganti puasanya dengan membayar fidyah yaitu satu mud (7,5
ons) makanan pokok untuk setiap harinya.
4. Mukim (bukan musafir sejauh ± 82
km dan keluar dari batas daerahnya sebelum fajar).
Rukun-rukun
puasa:
1.
Niat,
Niat untuk
puasa wajib, mulai terbenamnya matahari sampai terbitnya fajar di setiap
harinya. Sedangkan niat untuk puasa sunnah, sampai tergelincirnya matahari
(waktu duhur) dengan syarat:
Niat puasa Ramadhan yang sempurna:
نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ اَدَاءِ
فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَان هذِهِ السَّنَة ِللهِ تَعَالَى
Saya
niat mengerjakan kewajiban puasa bulan Ramadhan esok hari pada tahun ini karena
Allah SWT.
2. Menghindari perkara yang membatalkan
puasa. Kecuali jika lupa atau dipaksa atau karena kebodohan yang ditolerir oleh
syari’at (jahil ma’dzur).
Jahil ma’dzur/kebodohan yang
ditolerir syariat ada dua:
a. Hidup jauh dari ulama’.
b. Baru masuk islam.
D.
Hal Yang Membatalkan Puasa Ramadhan
Ahli fiqh membagi
hal-hal yang membatalkan puasa kepada dua bentuk, yaitu: sesuatu yang
membatalkan dan wajib meng-qadha dan
sesuatu yang membatalkan dan wajib meng-qadha
dan kaffarat.
Adapun hal-hal yang
membatalkan puasa dan wjib meng-qadha nya
adalah:
a. Makan dan minum dengan
sengaja.
Seseorang yang sengaja makan dan minum pada siang hari Ramadhan
puasanya dinyatakan batal dan wajib menggabtikannya pada hari-hari lain.
b. Muntah dengan sengaja.
Seseorang yang dalam keadaan puasa kemudian dengan sengaja
memuntahkan sesuatu dari perutnya maka puasanya menjadi batal.
c. Haid dan nifas.
Para ulama telah sepakat menetapkan batalnya puasa seseorang
apabila darah haid atau nifasnya keluar, karena suci dari darah haid dan nifas
telah disepakati sebagai salah satu syarat syah puasa. Jika syarat ini tidak
terpenuhi maka puasanya tidak sah.[8]
d. Keluar mani dengan
sengaja (Karena bersentuhan dengan perempuan dan lainnya). Karena keluar mani
itu adalah puncak yang dituju orang pada persetubuhan, maka hukumnya disamakan
dengan bersetubuh. Oleh karena itu puasanya akan batal, tetapi jika keluar mani
karena bermimpi puasa tersebut tidak batal.
e.
Gila.
Sedangkan yang termasuk
hal-hal yang membatalkan puasa dan mewajibkan qadha dan kafarat menurut jumhur
fukaha hanyalah melakukan hubungan seksual disiang hari ramadhan.
Masalah masalah yang berkaitan
dengan puasa:
1. Apabila
seseorang berhubungan dengan istrinya pada siang hari Ramadhan dengan
sengaja, tanpa terpaksa dan mengetahui keharamannya maka puasanya batal,
berdosa, wajib menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa sampai maghrib
dan wajib mengqodhoi puasa serta wajib membayar kaffaroh [denda] yaitu:
Ø Membebaskan budak perempuan yang
islam
Ø Jika tidak mampu, wajib berpuasa dua
bulan berturut turut,
Ø Jika tidak mampu maka wajib memberi
makanan pada 60 orang miskin masing-masing berupa 1 mud (7,5 ons) dari makanan
pokok. Denda ini wajib dikeluarkan hanya bagi laki laki.
2. Hukum menelan dahak :
·
Jika telah mencapai batas luar tenggorokan, maka haram
menelan dan membatalkan puasa.
·
Jika masih di batas dalam tenggorokan, maka boleh dan tidak
membatalkan puasa.
Yang dimaksud batas luar menurut pendapat Imam Nawawi
(mu’tamad) adalah makhroj huruf kha’ (ح), dan dibawahnya adalah batas dalam.
Sedangkan menurut sebagian ulama’ batas luar adalah makhroj huruf kho’(خ), dan di
bawahnya adalah batas dalam.
3. Menelan ludah tidak
membatalkan puasa dengan syarat:
Ø Murni (tidak tercampur benda lain)
Ø Suci
Ø Berasal dari sumbernya yaitu lidah
dan mulut, sedangkan menelan ludah yang berada pada bibir luar membatalkan
puasa karena sudah di luar mulut.
4. Hukum masuknya air mandi ke
dalam rongga dengan tanpa sengaja:
Ø Jika sebab mandi sunnah seperti
mandi untuk sholat jum’at atau mandi wajib seperti mandi janabat maka tidak
membatalkan puasa kecuali jika sengaja atau menyelam.
Ø Jika bukan mandi sunnah atau wajib
seperti mandi untuk membersihkan badan maka puasanya batal baik disengaja atau
tidak.
5.
Hukum air kumur yang tertelan tanpa sengaja:
·
Jika berkumur untuk kesunnahan seperti dalam wudhu’ tidak
membatalkan puasa asalkan tidak terlalu ke dalam (mubalaghoh)
·
Jika berkumur biasa, bukan untuk kesunnahan maka
puasanya batal secara mutlak, baik terlalu ke dalam (mubalaghoh) atau tidak.
6. Orang yang muntah atau mulutnya
berdarah wajib berkumur dengan mubalaghoh (membersihkan hingga ke pangkal
tenggorokan) agar semua bagian mulutnya suci.
Apabila ia menelan ludah tanpa
mensucikan mulutnya terlebih dahulu maka puasanya batal sekalipun ludahnya
nampak bersih.
7. Orang yang sengaja
membatalkan puasanya atau tidak berniat di malam hari, wajib menahan diri di
siang hari Ramadhan dari perkara yang membatalkan puasa (seperti orang puasa)
sampai maghrib dan setelah Ramadhan wajib mengqodhoi puasanya.
8. Berbagai konsekuensi bagi
orang yang tidak berpuasa atau membatalkan puasa Ramadhan:
a. Wajib qodho’ dan membayar denda :
·
Jika membatalkan puasa demi orang lain. Seperti perempuan
mengandung dan menyusui yang tidak puasa karena kuatir pada kesehatan anaknya
saja.
·
Mengakhirkan qodho’ hingga datang Ramadhan lagi tanpa ada
udzur.
b.
Wajib qodho’ tanpa denda.
Berlaku bagi
orang yang tidak berniat puasa di malam hari, orang yang membatalkan puasanya
dengan selain jima’ (bersetubuh) dan perempuan hamil atau menyusui yang tidak
puasa karena kuatir pada kesehatan dirinya saja atau kesehatan dirinya dan
anaknya.
c.
Wajib denda tanpa qodho’.
Berlaku bagi orang lanjut usia dan orang sakit yang tidak
punya harapan sembuh, jika keduanya tidak mampu berpuasa.
d.
Tidak wajib qodho’ dan tidak wajib denda.
Berlaku
bagi orang yang gila tanpa disengaja.
Yang dimaksud denda di sini adalah 1 mud (7,5 ons) makanan
pokok daerah setempat untuk setiap harinya.
Hal-hal
yang disunnahkan dalam puasa Ramadhan:
1.
Menyegerakan berbuka puasa.
2.
Sahur, sekalipun dengan seteguk air.
3.
Mengakhirkan sahur, dimulai dari tengah malam.
4. Berbuka dengan kurma. Disunnahkan
dengan bilangan ganjil. Bila tak ada kurma, maka air zam-zam. Bila tak ada,
cukup dengan air putih. Bila tak ada, dengan apa saja yang berasa manis alami.
Bila tak ada juga, berbuka dengan makanan atau minuman yang diberi pemanis.
5.
Membaca doa berbuka yaitu:
اَللّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَبِكَ
آمَنْتُ وَعَلىَ رِزْقِكَ اَفْطَرْتُ ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ اْلعُرُوقُ
وَثَبَتَ اْلأَجْرُ اِنْ شَاءَ اللهُ .اَلْحَمْدُ ِللهِ الَّذِي أَعَانَنِي
فَصُمْتُ وَرَزَقَنِي فَأَفْطَرْتُ اَللّهُمَّ اِنِّي أَسْأَلُكَ بِرَحْمَتِكَ
الَّتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ اَنْ تَغْفِرَ لِي .
6.
Memberi makanan berbuka kepada orang berpuasa.
7.
Mandi janabat sebelum terbitnya fajar bagi orang yang junub di malam hari.
8.
Mandi setiap malam di bulan Ramadhan
9.
Menekuni sholat tarawih dan witir.
10.
Memperbanyak bacaan Al Quran dengan berusaha memahami artinya.
11.
Memperbanyak amalan sunnah dan amal sholeh.
12.
Meninggalkan caci maki.
13.
Berusaha makan dari yang halal
14.
Bersungguh-sungguh di sepuluh hari terakhir, dan lain-lain
Hal-hal
yang dimakruhkan dalam puasa Ramadhan:
1.
Mencicipi makanan.
2.
Bekam [mengeluarkan darah].
3.
Banyak tidur dan terlalu kenyang.
4.
Mandi dengan menyelam.
5.
Memakai siwak setelah masuk waktu duhur.
Hal
hal yang membatalkan pahala puasa:
1.
Ghibah (gosip).
2.
Adu domba.
3.
Berbohong.
4.
Memandang dengan syahwat.
5.
Sumpah palsu.
6.
Berkata jorok atau jelek.
Rasulullah
SAW bersabda :
خمس يفطّرن الصائم الكذب والغيبة
والنميمة واليمين الكاذبة والنظر بشهوة
“
Lima perkara yang membatalkan (pahala) puasa : berbohong, ghibah, adu domba,
sumpah palsu dan melihat dengan syahwat “ (H.R. Anas)
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa:
1. Puasa yaitu suatu ibadah
yang diperintahkan Allah kepada hamba-Nya yang beriman dengan cara
mengendalikan diri dari syahwat makan, minum dan hubungan seksual serta
perbuatan-perbuatan yang merusak nilai puasa pada waktu siang hari sejak terbit
fajar sampai terbenamnya matahari.
2. Puasa pada bulan
ramadhan adalah hukumnya wajib dan merupakan bagian dari rukun islam.
3. Puasa Ramadhan hukumnya
wajib dilaksanakan oleh setiap muslim yang sudah baligh, berakal, sehat dan
tidak sedang bepergian.
4. Syarat sahnya puasa Ramadhan berdasarkan
kesepakatan para ulama’ adalah Niat serta suci dari haid dan nifas.
5. Hal-hal yang
membatalkan puasa adalah: makan minum dengan sengaja, muntah dengan sengaja,
haid dan nifas, keluar air mani dengan sengaja, dan gila.
B.
Saran
Kepada seluruh umat Islam mari kita sambut Ramadhan yang
akan datang dengan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat, karena semua manfaat itu
akan mengkrucut menjadi satu yaitu tercapainya Visi Ramadhan, sebagaimana yang
disebutkan dalam Al-Qur'an.
ööNä3ª=yès9 tbqà)Gs?
"Semoga kamu bertaqwa"
Wallahu A'lam Bishawaab.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Aziz, Usamah.
2005. Puasa Sunnah: Hukum dan Keutamaannya. alih bahasa Abdillah. Lc.
dari judul asli Shiyam At-tathawwu’ Fadhail wa Ahkam. Jakarta: darul
Haq. cet. 2.
Lufti
Fathullah, Ahmad. 2006. Hadits-Hadits Lemah dan Palsu dalam Kitab Durratun
Nashihin (Keutamaan Bulan Rajab, Sya’ban, dan Ramadhan). Jakarta: Darrus
Sunnah Press.
Rasjid, Sulaiman.
1976. Fiqih Islam. Jakarta: At-Thahiriyah.
Suparta, Muhammad dan Ghufran Ihsan. 1996. Fiqih. Semarang: CV. Karya Toha Putra.
Al-Zuhayly, Dr. Wahbah. 2005. Puasa
dan Itikaf.
Zainudin MA, Dr. 1997. Fiqih Ibadah.
[1] Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam,
(Jakarta: At-Thahiriyah, 1976), cet. 17, hal. 216.
[2] Usamah Abdul Aziz, Puasa Sunnah:
Hukum dan Keutamaannya, alih bahasa Abdillah, Lc, dari judul asli Shiyam
At-tathawwu’ Fadhail wa Ahkam, (Jakarta: darul Haq, 2005), cet. 2, hal. 5.
[3] Muhammad Suparta dan Ghufran Ihsan, Fiqih,
(Semarang: CV. Karya Toha Putra, 1996), hal. 36.
[4] Lihat Al-Mawardi, Al-Inshaf
(3/269).
[6] Ahmad Lufti Fathullah, Hadits-Hadits
Lemah dan Palsu dalam Kitab Durratun Nashihin (Keutamaan Bulan Rajab, Sya’ban,
dan Ramadhan), (Jakarta: Darrus Sunnah Press, 2006), hal. 70
0 komentar:
Posting Komentar