Pages

Selasa, 01 Januari 2013

Kasih dan Adil


Anda mengasihi seseorang? Apa buktinya? Hanya anda dan orang yang dikasihi yang tahu. Bila kita mendengar pendapat orang bijak, maka jawabannya adalah kasih itu memberi.
Dalam bahasa Arab, kasih adalah rahim, darinya diambil ungkapan rahim ibu. Rahim ibu ini merupakan lambang kasih, yaitu memberi. Bagaimana tidak, jabang bayi / janin di dalam rahim ibu terus saja disuplay makanan dan minuman tanpa ada sedikitpun rasa untuk minta imbalan balas jasa. Kata Syekh Sya’rawi, kalau ingin melihat kasih yang nota bene memberi, maka lihatlah rahim ibu yang memberi dan tidak pernah meminta.
Begitu juga dengan cinta / kasih dengan tanah air dilakukan dengan memberikan jiwa dan raga kepadanya, yang dalam istilah Islam disebut Jihad. Cinta / kasih kepada anak dan isteri dilakukan dengan memberi hasil jerih payah membanting tulang seharian bekerja untuk menafkahi mereka agar dapat hidup layak. Sikap memberi di atas dilakukan berdasarkan cinta, dan itulah cinta kasih sayang yang haqiki.
Bila benar seorang isteri mengasihi suami, maka di antara bukti kasihnya yang besar ialah ia merelakan suami untuk mencari isteri lagi. Tidak lain tidak bukan alasannya, karena hakikat kasih itu adalah memberi.
Ada pernyataan bahwa bukti kasih Tuhan kepada hamba-Nya adalah Dia mensyariatkan poligami. Inilah pernyataan yang benar. Karena ada yang menduga bukti ketaqwaan itu tidak mendekati isteri, menghindar dari dunia, dengan cara puasa tidak pernah berbuka, tahajjud dan tidak tidur malam. Kesalahan persepsi ini pernah tercetus dibenak sahabat Nabi Muhammad dan Nabi pun melarangnya.
Tidak menikah bukanlah prestise dan satu hal yang patut dibanggakan. Tapi merupakan sikap lemah dan tercela. Manusia bukan Tuhan. Manusia makhluk dan Tuhan Khalik/Pencipta. Sebagai Pencipta yang Mahakuasa maka sifat Tuhan yang hakiki itu tidak punya isteri dan anak, sedangkan sifat manusia yang sempurna ialah menikah dan memiliki keluarga.
Dalam sejarah ditemukan para nabi yang dikasihi-Nya melakukan poligami. Lihat saja bapak para nabi, Ibrahim a.s, Nabi Daud, Ya’kub a.s dan Nabi Muhammad saw. semuanya melakukan poligami agar kasih-Nya tersebar. Agar kekhalifahan, memakmurkan bumi dan ibadah kepada-Nya dapat ditegakkan oleh keturunan saleh yang mayoritas. Dalam istilah Nabi disebut dengan al-wadûd wal walûd. Dari sejarah ini jelaslah bahwa poligami bukan monopoli syariat Islam. Ajaran para nabi membenarkan adanya poligami sebagai wujud kasih-Nya.
Menurut Tafsir Sya’rawi, secara dasar keadilan diminta saat beristeri satu (monogami) maupun banyak (poligami). Seorang yang melakukan monogami bisa saja tidak berlaku adil pada isterinya, dan pelaku poligami dapat berbuat sebaliknya. Contoh monogami yang tidak adil ialah meninggalkan isteri lebih dari empat bulan, atau suami yang workholic/candu bekerja hingga melupakan isteri walau hidup serumah.
Sebagaimana khusyu’ dalam shalat bukan merupakan syarat dan rukun, begitu juga adil dalam poligami bukan merupakan syarat dan rukun. Khusyu diharapkan dalam shalat munfarid (sendiri) atau jama’ah, begitu pula keadilan diharapkan dalam monogami atau poligami.
Poligami bukti kasih-Nya. Bagi orang yang ingin menyebarkan keadilan maka lakukanlah monogami, sedangkan orang yang ingin menyebarkan kasih-Nya maka lakukanlah poligami. Hal ini berdasarkan pada dialog yang kita kutip dalam tafsir Syara’wi.
Ketika seseorang melaporkan hal ikhwal sengketa keluarga, berkata “Wahai hakim, putuskanlah perkara kami secara adil.”
Hakim berkata: “Maukah kamu suatu hal yang lebih baik dari adil.” Mereka berkata: “Adakah yang lebih baik dari adil?” Hakim berkata: “Ada, itulah fadilah/kasih. Kamu saling memberi kepada saudaramu apa yang menjadi hakmu.”
Poligami adalah usaha untuk saling mengasihi/memberi bukan untuk tegaknya keadilan. Bila kita adalah hamba Allah yang Maha Pengasih dan dipinta untuk menyebarkan kasih, maka poligami itu adalah satu diantara cara untuk menyebarkan kasih-Nya.

0 komentar:

Posting Komentar