Anda mengasihi
seseorang? Apa buktinya? Hanya anda dan orang yang dikasihi yang tahu. Bila
kita mendengar pendapat orang bijak, maka jawabannya adalah kasih itu memberi.
Dalam bahasa Arab,
kasih adalah rahim, darinya diambil ungkapan rahim ibu. Rahim ibu ini merupakan
lambang kasih, yaitu memberi. Bagaimana tidak, jabang bayi / janin di dalam rahim
ibu terus saja disuplay makanan dan minuman tanpa ada sedikitpun rasa untuk minta
imbalan balas jasa. Kata Syekh Sya’rawi, kalau ingin melihat kasih yang nota
bene memberi, maka lihatlah rahim ibu yang memberi dan tidak pernah meminta.
Begitu juga dengan
cinta / kasih dengan tanah air dilakukan dengan memberikan jiwa dan raga kepadanya,
yang dalam istilah Islam disebut Jihad. Cinta / kasih kepada anak dan isteri
dilakukan dengan memberi hasil jerih payah membanting tulang seharian bekerja
untuk menafkahi mereka agar dapat hidup layak. Sikap memberi di atas dilakukan
berdasarkan cinta, dan itulah cinta kasih sayang yang haqiki.
Bila benar seorang
isteri mengasihi suami, maka di antara bukti kasihnya yang besar ialah ia
merelakan suami untuk mencari isteri lagi. Tidak lain tidak bukan alasannya,
karena hakikat kasih itu adalah memberi.
Ada pernyataan bahwa
bukti kasih Tuhan kepada hamba-Nya adalah Dia mensyariatkan poligami. Inilah
pernyataan yang benar. Karena ada yang menduga bukti ketaqwaan itu tidak
mendekati isteri, menghindar dari dunia, dengan cara puasa tidak pernah
berbuka, tahajjud dan tidak tidur malam. Kesalahan persepsi ini pernah tercetus
dibenak sahabat Nabi Muhammad dan Nabi pun melarangnya.
Tidak menikah
bukanlah prestise dan satu hal yang patut dibanggakan. Tapi merupakan sikap
lemah dan tercela. Manusia bukan Tuhan. Manusia makhluk dan Tuhan
Khalik/Pencipta. Sebagai Pencipta yang Mahakuasa maka sifat Tuhan yang hakiki
itu tidak punya isteri dan anak, sedangkan sifat manusia yang sempurna ialah
menikah dan memiliki keluarga.
Dalam sejarah
ditemukan para nabi yang dikasihi-Nya melakukan poligami. Lihat saja bapak para
nabi, Ibrahim a.s, Nabi Daud, Ya’kub a.s dan Nabi Muhammad saw. semuanya
melakukan poligami agar kasih-Nya tersebar. Agar kekhalifahan, memakmurkan bumi
dan ibadah kepada-Nya dapat ditegakkan oleh keturunan saleh yang mayoritas.
Dalam istilah Nabi disebut dengan al-wadûd wal walûd. Dari sejarah ini
jelaslah bahwa poligami bukan monopoli syariat Islam. Ajaran para nabi
membenarkan adanya poligami sebagai wujud kasih-Nya.
Menurut Tafsir
Sya’rawi, secara dasar keadilan diminta saat beristeri satu (monogami) maupun
banyak (poligami). Seorang yang melakukan monogami bisa saja tidak berlaku adil
pada isterinya, dan pelaku poligami dapat berbuat sebaliknya. Contoh monogami
yang tidak adil ialah meninggalkan isteri lebih dari empat bulan, atau suami
yang workholic/candu bekerja
hingga melupakan isteri walau hidup serumah.
Sebagaimana khusyu’
dalam shalat bukan merupakan syarat dan rukun, begitu juga adil dalam poligami
bukan merupakan syarat dan rukun. Khusyu diharapkan dalam shalat munfarid
(sendiri) atau jama’ah, begitu pula keadilan diharapkan dalam monogami atau
poligami.
Poligami bukti
kasih-Nya. Bagi orang yang ingin menyebarkan keadilan maka lakukanlah monogami,
sedangkan orang yang ingin menyebarkan kasih-Nya maka lakukanlah poligami. Hal
ini berdasarkan pada dialog yang kita kutip dalam tafsir Syara’wi.
Ketika seseorang
melaporkan hal ikhwal sengketa keluarga, berkata “Wahai hakim, putuskanlah
perkara kami secara adil.”
Hakim berkata: “Maukah kamu suatu hal
yang lebih baik dari adil.” Mereka berkata: “Adakah yang lebih baik dari adil?”
Hakim berkata: “Ada, itulah fadilah/kasih. Kamu saling
memberi kepada saudaramu apa yang menjadi hakmu.”
Poligami adalah
usaha untuk saling mengasihi/memberi bukan untuk tegaknya keadilan. Bila kita
adalah hamba Allah yang Maha Pengasih dan dipinta untuk menyebarkan kasih, maka
poligami itu adalah satu diantara cara untuk menyebarkan kasih-Nya.
0 komentar:
Posting Komentar